POLA PIKIR MASYARAKAT MINANGKABAU

  1. PENDAHULUAN

Sebelum kedatangan agama Islam , orang Minangkabau mengatur kehidupan mereka dengan menggunakan akal, fikiran dan perasaan untuk berguru kepada alam. Berguru kepada alam artinya ialah mengamati, memikirkan dan mengambil pelajaran dari keteraturan alam.

Unsur-unsur alam yang berbeda kadar dan fungsinya mempunyai peranan yang seimbang dalam menjaga keharmonisan. Dengan adanya keseimbangan unsur-unsur itu akan saling berhubungan antara satu sama lainnya, tetapi ridak saling mengikat. Unsur-unsur alam saling tidak bertentangan tetapi tidak saling melenyapkan, dan unsur-unsur alam juga berkelompok tetapi tidak meleburkan dan menafikan keberadaan masing-masing unsur, sebaliknya unsur-nsur itu sesuai dengan kadar dan funngsinya berperan dalam mewujudkan keharmonisan hidup berkelompok. Untuk lebih jelasnya bagaimana pola pikir masyarakat Minangkabau penulis akan membahasnya dalam makalah kali ini.

  1. PEMBAHASAN
  2. Landasan Berfikir

Pada dasarnya semua ketentuan adat Minangkabau yang terhimpun dalam pepatah-petitih adalah rasional atau masuk akal, karena itu hal-hal yang irrasional seperti ilmu klinik, mistik, takhayul kurang berkembang di Minangkabau.

Dari pada membicarakan tuyul, kuntilanak, babi ngepet, gunung kawi, dan semacam itu orang minang lebih suka jual-kamper, bersorak-sorak di kaki lima dan perbuatan nyata yang lain dan bahkan berkelana dan merantau untuk merubah nasib diri.

Landasan berfikir orang Minang tercakup dalam Pepatah Adat yang berbunyi sebagai berikut :

Rumah basandi batu

Adat basandi Alue Patuik

Mamakai Anggo jo Tanggo

Sarato raso jo Pareso

Artinya:

Rumah bersendi batu

Adat bersendi jalan yang benar dan pantas

Memakai aturan yang wajib diturut

Serta budii pekerti dan kecermatan[1]

Kalau kita perhatikan sejarah kehidupan orang Minang, mereka sering mengadakan perlawanan terhadap kondisi yang tidak menyenangkan. Kebiasaan merantau misalnya, baik disebabkan oleh kesulitan hidup atau alasan ekonomi ataupun alasan mencari ilmu, bahkan meninggalkan nagari karena merasa tidak aman karena prakara politik sebenarnya merupakan perlawanan terhadap kendala yang dihadapi orang Minang. Mereka bergulat untuk dapat keluar dari suatu kondisi yang tidak menyenangkan.

Seterusnya juga kita lihat bagaimana gigihnya orang Minang menentang penjajahan dan penindasan seperti pembangkangan terhadap Tanama Paksa, Perang Paderi, PRRI dan sebagainya. Bahkan pelopor kemerdekaan nasional kebanykan putera Minang.

Dengan demikian terdapat 4 landasan pokok berfikir orang Minang menurut adat yaitu :

  1. Logika atau alue patuik
  2. Tertib hokum atau anggo tango
  3. Ijtihad atau raso pareso
  4. Dialektika atau Musyawarah mufakat (sinthesa)

Keempat landasan berfikir ini membentuk pola pikir orang Minang pada umumnya.[2]

  1. Alue Patuik

Alue artinya alur atau jalur jalann yang benar.

Patuik artinya pantas – sesuai atau masuk akal.

Alua patuik artinya orang Minang harus dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Tujuan utama dri prinsip “alue patuik” ini adalah untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat dan sekaligus menghindari sangketa antara anggota masyarakat. Dengan cara demikianakan tercpai kehidupan yang rukun, aman dan damai. Sebaliknya bila prinsip “alue dan patuik” ini tidak diamalkan didalam kehidupan sehari-hari, maka dapat dipastikan segera datangnya malapetaka dalam masyarakat dalam bentuk percekcokan, kerusuhan dan huruhara.

Pepatah adat menyebutkan sebagai berikut :

Urang Makah mambao Taraju

Urang Baghdad mambao Talua

Talua dimakan bulan puaso

Rumah Gadang basandi batu

Adat basan Alue

Alua itu kaganti rajo

Pepatah ini menyatakan bahwa salah satu sendi atau landasan pokok dari Adat Minang adalah prinsip “alue dan patuik” itu. Prinsip alue dan patuik haruslah kita jadikan panutan (raja) dalam kehidupan sehari-hari, kalau kita ingin suatu masyarakat yang rukun, aman dan damai.

Selanjutnya adat juga menentukan :

Manarah manurik alue

Nan baukue nan di karek

Nan babarih nan dipahek

Pepatah ini menuntut kita untuk selalu berbuat sesuai dengan aturan-aturan yang sudah disepakati, atau melakukan sesuatu sesuai yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan istilah manajemen prinsip ini kiranya dapat diterjemahkan bahwa segala sesuatu yang akan dilakukan haruslah mempunyai suatu rencana yang sudah matang. Pelaksanaannya harus sesuai dengan rencana yang sudah ada itu. Baukue dan babarih kiranya dapat diterjemahkan dengan istilah Rencana atau Planning.[3]

Berpijak dari falsafah alam ini masyarakat Minangkabau dapat mengambil pelajaran bahwa setiap individu dalam masyarakat sama pentingnya walaupun kemampuan dan peranan mereka berbeda-beda. Seperti kata pepatah :

“Yang buto mahambuih lasuang, yang pakak malapeh badie, yang lumpuah panghuni rumah, yang kuek mambawo baban, yang kayo tampaek batenggang, yang andie disuruah-suruah, yang cadiak lawan barundiang”[4]

  1. Anggo-Tanggo

Anggo artinyaanggaran seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Anggo tango artinya peraturan atau segala yang ditentukan dan harus diturut. Limbago nan sapuluah juga disebut dengan Anggo tanggo. Jadi Anggo tanggo artinya mengerjakan sesuatu harus sesuai dengan aturan pokok dan aturan rumah tangga adat.

Tujuan yang ingin dicapai dengan prinsip Anggo tanggo ini adalah untuk menciptakan disiplin dan ketertiban dalam lingkungan kekerabatan, di lingkungan masyarakat dann dalam mengatur nagari.

Anggo-tanggo ini dihimpun dalam apa yang menurut adat disebut “Limbago nan sapuluah”, yang menjadi dasar dari Hukum Adat Minangkabau.

Limbago nan sapuluah itu terdiri dari “

Cupak nan Duo           :

1. Cupak Usali (asli)

2. Cupak Buatan

Undang nan Ampek :

1. Undang Undang Luhak Rantau

2. Undang Undang Pembentuakan Nagari

3. Undang Undang Dalam Nagari

4. Undang Undang nan 20 (Pidana Adat)

 

Kato nan Ampek         :

1. Kato Pusako

2. Kato dulu

3. Kato Buatan (Kato Mufakat)

4. Kato Kamudian (Kato Bacari)[5]

Cupak artinya takaran atau timbangan atau Hukum. Cupak dalam dalam Adat Minangkabau diartikan sebagai alat ukur nilai-nilai keperluan materil ekonomis dan alat ukur nilai-nilai kebenaran dan moral kehidupan. Terhadap Cupak Usali dan Cupak Buatan disebut juga dengan Cupak Nan Duo.

Cupak Usali artinya Hukum Asli. Cupak usali ialah nilai-nilai benar, baik dan adil yang didasarkan kepada Adat yang sabana adat, yaitu agama dan falsafah alam takambang jadi guru serta Adat yang diadatkan yang telah diterima dari nenek moyang.

Cupak Buatan artinya Hukum Perelengkapan. Cupak Buatan ialah nilai-nilai benar dan baik berdasarkan hasil musyawarah dan kesepakatan para pemimpin yang berlaku menurut tingkat kesepakatan dan lingkungan yang ditentukan oleh pembuatnya.[6]

Dari Undang Undang nan Ampek dan Kato nan Ampek, dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu UU Pokok (Cupak Usali) dan UU Perlengkapan (Cupak Buatan) menjadi sebagai berikut :

UU POKOK (CUPAK USALI)
1.Luhak Rantau
2.UUPembentukan Nagari

3. Kato Pusako

  1. Kato Daulu

 

UU PELENGKAP (CUPAK BUATAN)

1. UU Dalam Nagari

  1. UU Nan 20

    3. Kato Buatan (Kato mufakat)

  2. Kato Kamudian (Kato Bacari)
  1. Undang-undang luhak dan rantau

Undang-undang luhak dan rantau mengatur hal-hal yang berkaitan dengan luhak dan rantau, seperti tugas penghulu dan raja di daerah rantau, undang-undang luhak dan rantau ini dikatakan dalam pantun adat yang mengatakan :

Mancampak sambia kahulu

Kanailah pantau di kualo

Dilatak dalam cupak

Dijarang jo sipadeh

Luhak dibari pangulu

Rantau dibari barajo

Tagak indak tasondak

Malenggangg indak tapampeh

Pengertiannya didaerah luhak yang mengaturnya adalah penghulu, sedangkan di daerah rantau yang akan ganti penghulu disebut rajo. Kedua pemimpin ini yaitu penghulu dan raja mempunyai wewenang penuh di daerah masing-masing. [7]

  1. Undang-undang pembentukan nagari

Undang-undang nagari mengatur segala sesuatu mengenai nagari sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat. Menurut Undang-undang mengenai nagari dikemukakan oleh Taliban adat sebagai berikur :

Anak gadih mangarek kuku

Dikarek jo pisau sirauik

Pangarek batuang tuo

Batuang tuo elok ka lantai

Nagari baampek suku

Dalam suku babuah paruik

Kampuang ban nan tuo

Rumah batungganai.

Pada mulanya dengan pengertian sebuah nagari mempunyai sekurang-kurangnya terdiri empat suku, setiap suku terdiri pula dari perut-perut atau kaum. Dalam sebuah kampung ada yang di tuakan, setiap rumah gadang ada mempunyai tungganai (mamak yang dituakan).[8]

  1. Kato Pusako

Kato pusako (kata pusaka) itu diwariskan dengan pengertian segala ketentuan-ketentuan yang telah dituangkan dalam bentuk pepatah petitih dan lain-lain merupakan peninggalan-peninggalan nenek moyang orang Minangkabau pada masa dahulu terutama dari tokoh-tokoh adatnya, yaitu Datuak Katumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Yang termasuk kata pusakadapat dikemukakan sebagai berikut :
                                
 Nan babarih nan bapahek                                                                                          

Nan baukua nan bajangko 
                                                                                    
Mamahek manuju barih   
                                                                                      
Tantang bana lubang katabuak   
                                                                        
 Manabang manuju pangka   
                                                                                 
Malantiang manuju tangkai      
                                                                                   
Tantang buah ka lareh[9]

  • Katodahulu batapati
    Kata dahulu ditepati mempunyai arti bahwa segala ketentuan yang telah disepakati, baik keputusan dalam memecahkan sesuatu masalah ataupun norma-norma yang telahdisepakati untukkepentingan hidup bersama tidak boleh menyimpang dari hasil kesepakatan tadi. Ketentua adat mengatakan :

Pitaruah indak dihunikan

Pasan indak dituruti

Contoh dari kata dahulu ditepati seperti janji yang telah dibuat sebelumnya dan janji ini hendaknya ditepati oleh kedua belah pihak dan dalam adat dikatakan : Janji harus ditepati, ikrar harus dimuliakan.[10]

Selanjutnya akan di uraikan secara ringkas mengenai “Cupak Buatan” atau Hukum Pelengkap sebagai berikut :

  1. Undang-undang dalam nagari

Undang-undang dalam nagari atau lazim disebut dengan Undang Undang Isi Nagari adalah peraturan tentang hubungan antara sesame anggota masyarakat baik menyangkut tindak perdata, tindak pidana, atau tindak kerjasama.

Pengaturan dalam bidang perdata misalnya :

Adat pinjam melunasi

Utang babaie – piutang ditarimo

Salah ditimbang – kusuik disalasaikan

Urang Kubang mambao aie

Urang Padang mambao bareh

Nan bautang nan mambaie

Nan mancancang nan mamapeh

Dalam mendorong kerjasama dalam masyarakat, pepatah Minang mengajarkan :

Barek samo dipikue

Ringan samo dijinjiang

Ado samo dimakan

Indak samo dicari

Ka bukik samo mandaki

Kalurah samo manurun

Talantang samo minum aie

Talungkuik samo minum tanah

Kok jauah kana mangana

Dakek jalang manjalang[11]

  1. Undang-undang nan 20

Undang-undang nan 20 menguraikan bentuk-bentuk kejahatan. Cara pembuktian dan penentuan tuduhan secra adat. Undang-undang nan 20 terdiri dari :

8 buah Undang-undang yang menyangkut Bentuk kejahatan.

6 buah Undang-undang yang menyangkut Pembuktian Kesalahan

6 buah Undang-undang yang menyangkut Pendakwaan atau tuduhan.

  1. Kata buatan (Kato Mufakat)

Yang dimaksud “kata buatan” ialah ikrar yang diterapkan berdasarkan persetujuan semua pihak dalam suatu permusyawarahan yang dilakukan menurut “alue dan patuik” sepanjang adat.

Bulek aie dek pambulue

Bulek kato dek mufakat

Tuah sakato nan basamo

  1. Kata kemudian (Kato Bacari)

Yang dimaksud “kata kemudian” atau lazim disebut dengan “ Kato kamudian kato bacari” ialah suatu ikrar yang terpaksadiperbaharui karena tidak terlaksanakannya ikrar terdahulu.

Pepatah Minang menyebut :

Janji ditapati

Ikrar dimuliakan

Jadi setiap janji harus detepati, namun kadang-kadang “manusia merencanakan Tuhan yang menentukan”. Adakalanya suatu ikrar yang diucapkan tidak dapat terpenuhi, sehingga perlu diadakan perubahan.

Perubahan yang semacam ini dianggap lazim pula dalam adat, seperti pepatah berikut :

Alang ndak sakali mainggok

Pikiran ndak sakali tumbuah[12]

  1. Raso jo Pareso

Raso artinya rasa

Pareso artinya periksa atau teliti

Raso jo pareso artinya membiasakan mempertajam rasa kemanusiaan atau hati nurani yang luhur dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi setiap masalah membiasakan diri melakukan penelitian yang cermat untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki dan tidak teergesa-gesa dalam bertindak.

Jadi yang dimaksud dengan raso dalam adat adalah “budi baik” seperti kata pantun pepatah sebagai berikut :

Nan kuriak iolah kundi

Nan merah iolah sgo

Nan baiak iolah budi

Nan indah iolah baso (basa-basi)

Perbedaan antara “raso” dengan “pareso” disebut dalam pepatah sebagai berikut

Raso tumbuah di dado

Pareso timbua di kapalo

“Alua jo Patuik – Anggo jo Tanggo – Raso jo Pareso” dalam adat sering disebut dengan istilah “Tungku nan tigo sajarangan”.[13]

  1. PENUTUP

Pada dasarnya semua ketentuan adat Minangkabau yang terhimpun dalam pepatah-petitih adalah rasional atau masuk akal, karena itu hal-hal yang irrasional seperti ilmu klinik, mistik, takhayul kurang berkembang di Minangkabau.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Amir. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widiya. 1997.

Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau : Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi : Kristal Multimedia. 2009.

Kamaluddin, Safrudin Halimy. Adat Minangkabau Dalam Perspektif Hukum Islam. Padang : Hayfa Press. 2005.

 

[1] Amir, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, ( Jakarta : PT Mutiara Sumber Widiya, 1997), h. 76.

[2] Ibid, h. 76-77.

[3] Ibid, h. 77.

[4] Safrudin Halimy Kamaluddin, Adat Minangkabau Dalam Perspektif Hukum Islam, (Padang : Hayfa Press, 2005), h. 15

[5] Amir, Op. Cit, h. 78.

[6] Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau : Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang, ( Bukittinggi : Kristal Multimedia, 2009), h. 144.

[7] Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Ibid, h. 114-115

[8] Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Ibid, h. 119.

[9] Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Ibid, h. 145.

[10] Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Ibid, h. 147.

[11] Amir, Op. Cit, h. 82.

[12]Amir, Ibid, h. 83-84

[13] Amir, Ibid, h. 84.

sumber : https://fatimahalthafunnisa.blogspot.co.id/2014/11/makalah-filsafat-adat-minangkabau-fam.html
KategoriTidak Dikategorikan

Tinggalkan komentar